Kisah yang akan diceritakan ini adalah benar kisah seorang teman, dan diceritakan kembali dalam bentuk posting-an di blog ini untuk kepentingan keamanan dan kenyamanan bersama sebagai pengguna, dan untuk dapat digunakan sebagai wadah instropeksi diri dan perbaikan bagi pihak terkait.
TIdak ada maksud buruk yang dipaparkan disini, mohon agar dapat direspon dengan niat baik dan hati yang ikhlas untuk kebaikan kita bersama.
"Beberapa waktu lalu saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke kota Surabaya.
Surabaya merupakan kota yang indah, bisa saya lihat 'kehijauan' di sana sini. Taman kota yang indah dipajang di berbagai sudut jalan utama kota ini, dengan lampu-lampu yang indah dan dilengkapi tempat duduk, bahkan beberapa taman kota dilengkapi dengan wifi. Pemerintah kota ini nampaknya bersungguh-sungguh untuk menyejahterakan rakyatnya.
Sebagai orang luar daerah ini, saya membutuhkan transportasi yang memadai untuk berkeliling kota. Di kota ini tersedia beberapa brand taxi, selain Blue Bird yang sudah kita kenal di kota besar lainnya, di Surabaya juga dipenuhi warna warni aneka taxi.
Berhubung di kota ini tidak ada angkutan umum semacam Trans Jakarta atau Trans Jogja, ditambah lagi dengan trayek angkutan umum yang cukup membingungkan untuk saya, maka seorang kolega menyarankan saya naik taksi saja, dan ia menyarankan naik taxi "tarif bawah" berwarna oranye dengan nama yang serupa dengan tulisan sedikit berbeda. Taksi dengan tagline the "Pride of Surabaya" ini mengantar saya ke tempat tujuan, yang nampaknya tidak jauh.
Saat saya menyebutkan tujuan saya, sang supir taksi nampak kecewa, ia menyetir kendaraannya dengan tidak menyenangkan, tidak menenangkan, ditambah dengan raut muka yang juga tidak ramah. Ia bertanya dengan ketus pada saya, " Mau lewat mana?",
Saya jawab " Mana saja yang tercepat dan tidak macet ya Pak."
Sementara taksi melaju dengan supir yang menyetir dengan ugal-ugalan dan saya berdoa agar selamat tiba di tujuan, saya mengirimkan sms kepada kolega saya, bahwa taksi rekomendasinya tidak sebaik yang diceritakan.Tak sampai 5 menit saya sampai di tempat tujuan. Argo mencatat Rp.8,000 (Delapan ribu rupiah). Saya memberikan uang selembar sepuluh ribu rupiah.
Sebagai informasi, terakhir kali saya naik taksi di kota sebesar Jakarta tarif yang dipakai adalah tetap mengikuti tarif yang muncul di layar argo, dan tidak ada batas minimum pembayaran, kecuali untuk pemesanan melalui telepon. (please cmiiw)
Setelah saya menyodorkan lembaran uang Rp.10,000 tersebut, sang supir langsung dengan nada agak 'nyolot' dan keras mengatakan "Lima belas ribu, mbak!!"
Saya sebagai penumpang, agak terkejut dengan ucapannya, karena nada bicaranya yang mengeras dan juga peraturan yang kurang saya pahami. Lah wong di argo nya saja 'cuma' delapan ribu, kok dia minta lima belas ribu. Supir yang membaca kebingungan saya berucap kembali dengan kesan tak sabaran "Memang gitu kok aturannya, kalo ndak percaya, sampeyan tanya aja ke kantor."
Saya yang sudah keluar dari taksi hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengeluarkan uang tambahan lima ribu untuk beliau.
Karena barang yang saya bawa cukup banyak, saya letakkan kembali di kursi jok mobil taksi dengan pintu yang masih terbuka, dan saya berdiri di samping pintu taksi yang masih terbuka tersebut. Tiba-tiba taksi bergerak maju, rupanya supir itu sedikit menginjak gas mobilnya, yang berakibat barang bawaan saya terjatuh. Saya yang kaget karena tidak siap dengan taksi yang bergerak tiba-tiba, terpicu emosi, saya letakkan uang sebesar lima ribu di jok belakang supir, mengambil tas bawaan saya yang cukup berat, dan menutup pintu taksi dengan penuh emosi. Braakkkk..... Saya diam saja, karena tidak mau mood saya lebih terganggu lagi. Tiba-tiba supir tersebut turun dan menghampiri saya, serta berkata "Sampeyan jangan gitu nutup pintu nya kalo marah." katanya sambil melotot. Akhirnya saya bersuara, "Kamu sudah suruh saya bayar lebih, menjatuhkan tas orang seenaknya, sekarang marah-marah sama saya. Ini saya masih harus jalan lagi ke dalam gedungnya. Tas bawaan saya banyak. Kamu mau bawain? Skarang anter saya aja masuk ke dalam gedung"
Ia menjawab "Ya ndak bisa begitu, kan argo nya sudah saya matikan. nanti sampeyan disuruh bayar lima belas ribu lagi, mau ndak?"
Saya kesal sekali mendengar ucapannya. Saya tinggalkan saja supir taksi itu.
Mungkin taksi berwarna oranye ini harus memberikan pelatihan bagaimana servis yang baik untuk pelanggannya.Untuk kejadian seperti ini, saya tidak mungkin merekomendasikan taksi tersebut kepada kenalan atau rekan kerja yang berkunjung ke Surabaya. Berdasarkan pengalaman saya tersebut, mudah-mudahan teman-teman sekalian bisa lebih bijaksana dalam berlaku di "kota orang". Mungkin kita sama-sama berada di negara yang sama, namun untuk peraturan dan budaya tiap kota, tiap daerah, tiap perusahaan berbeda-beda.
Saran saya adalah sbb:
1. Cek peraturan yang terkait dengan produk yang Anda gunakan
2. Tidak semua peraturan berlaku sama untuk jenis perusahaan yang sama
3. Pelajari kebudayaan bagaimana orang-orang di daerah tujuan berlaku, dan tetaplah waspada terhadap keamanan diri sendiri
4. Selalu catat dan informasikan nomor pintu dan nama supir taksi serta nama brand pada kenalan anda, agar apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, keberadaan anda tetap bisa dilacak
5. Jangan mudah terpancing emosi atau pertanyaan supir taksi yang menjebak, seperti "Mau lewat mana?" atau "Memang bisa ya kalau lewat jalan A/B/C?" karena pertanyaan-pertanyaan seperti itu terkadang menjebak. Bisa saja supir tersebut mau mengecek apakah anda tau jalan atau tidak, akibatnya, kita bisa diajak berputar-putar saja untuk menambah argo taksi.
Selain kejadian yang tidak menyenangkan dengan taksi berwarna oranye itu, saya tetap mendapatkan berbagai pengalaman menyenangkan di kota Surabaya ini. Banyak jajanan enak di kota ini. Tahu campur, ote-ote porong, rujak cingur, tahu tek, saya pasti merekomendasikan berbagai wisata kuliner di kota Surabaya kepada kenalan saya.
Enjoy your life, coz it never flat... =)"
*update:
Pihak taksi terkait sudah memberikan penjelasan dan permintaan maaf melalui akun twitternya, akan tetapi teman saya merasa tidak perlu dihubungi, saat saya tanya alasannya, beliau ternyata agak trauma dengan perlakuan supir saat kejadian tersebut berlangsung.
"No offense, serem liat supirnya ngamuk, apologize accepted however... ", Katanya.